Alkisah, seorang
ayah dan anaknya yang menginjak usia dewasa duduk-duduk di taman atau kebun rumah
mereka. Sang anak sambil membaca sebuah buku, sementara sang ayah memperhatikan
tananam di kebun tersebut.
“Buku apa itu
nak?” tanya sang ayah mengawali pembicaraan di sore hari itu.
“Negeri Lima
Menara”, jawab sang anak sambil meneruskan membaca.
Tiba-tiba datang
seekor burung hinggap di pohon mangga.
“Apa itu nak?”
tanya ayah kepada anaknya untuk kali
kedua.
“Burung gereja”,
jawab anaknya singkat.
Tidak lama
kemudian datang seekor burung lagi dan
hinggap di dahan pohon mangga.
“Apa itu nak?”
tanya sang ayah untuk kali ketiga.
“Burung pipitttttttt. P.I.P.I.T”, jawab sang anak
dengan nada tinggi sambil mengeja.
Sang ayah tetap
tenang duduk di samping sang anak yang sedang membaca novel,
tanpa terusik
sedikitpun emosinya dengan jawaban anaknya yang kurang sopan tersebut. Tiba-tiba
ada sebuah mangga jatuh dan sang ayah bertanya lagi kepada anaknya.
“Apa itu nak?”
“Ayah ini sukanya
ganggu aja deh. Tanya terus-menerus seperti anak kecil saja. Tahu nggak saya
sedang membaca buku. Jangan diganggu. Ayah jangan duduk di sampingku”, jawab
sang anak dengan kesalnya.
Mendengar jawaban
anaknya dengan penuh emosi, aang ayah berdiri dan masuk ke dalam rumah,
sementara sang anak masih tetap di kebun meneruskan bacaannya.
Apa gerangan yang
dilakukan ayah? Buat teh atau kopi untuk
menghilangkan perasaan tidak nyaman yang baru dialami? Bukan.
Nonton TV? Bukan.
Membaca Koran?
Bukan.
Yang dilakukan
sang ayah adalah mengambil buku hariannya. Sang ayah mulai menulis pengalaman di kebun dengan sang anak. Dia ceritakan apa
adanya. Persis dengan kejadian tadi. Di akhir catatannya, sang ayah menuliskan
begini.
Anakku, saya bertanya terus menerus itu bukan untuk
mengganggumu, tetapi untuk mengetahui sejauh mana perhatianmu kepada ayahmu.
Anakku, sudah sekian tahun ayah memberikan perhatian
kepadamu, sejak lahir sampai dewasa, tetapi ternyata engkau tidak mau
memberikan perhatian kepadaku hanya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan
ringan dariku.
Anakku, beginikah guru dan dosenmu mengajarimu di bangku
sekolah dan universitas? Beginikah
sikapmu kepada ayah kandungmu? Bagaimana sikapmu kelak kepada saudaramu dan orang-orang
lain di sekitarmu?
Anakku, jika ada orang yang bertanya kepadamu, jawablah
dengan penuh ketulusan. Karena jawaban yang engkau berikan itu ibarat lentera
di malam hari. Ibarat lilin yang menerangi kegelapan. Ibarat petunjuk jalan
bagi orang yang tersesat dalam perjalanan. Atau ibarat kompas bagi orang yang
kehilangan arah. Anakku……maafkan ayahmu jika telah gagal mengajarimu kepedulian
sosial.
Ya Rabb… jadikanlah anakku anak yang saleh, rajin
salat, rajin ibadah, rajin belajar, taat dan hormat kepada orang tua.
Pada hari berikutnya,
seperti biasa sepulang dari kuliah, sang anak memanfaatkan waktu sorenya untuk
rileksasi. Ia meneruskan membaca novel Negeri Lima Menara yang telah difilmkan
dan mulai 1 Maret 2012 diputar serentak di gedung-gedung bioskop di seluruh
Indonesia.
Saat itulah sang
ayah mendatangani sang anak dengan
membaca catatan harian.
“Anakku, kau
perlu membaca ini sebelum meneruskan membaca novel itu”, ungkap sang ayah
seraya menyodorkan buku hariannya kepada sang anak.
Dengan tenang dan
pelan sang anak membaca buku catatan harian tersebut.
Usai membaca,
sang anak menatap mata ayahnya. Kemudian memeluk dengan sekuat tenaga. Sambil meneteskan air mata, sang anak berkata
“Maafkan aku ayah. Maafkan aku ayah. Maafkan aku ayah”.
Dalam keadaan
berpelukan, sang ayah berkata.
Katakanlah
sesungguhnya segala puji dan syukur itu milik Allah. KepadaMu lah kami
menyembah dan kepadaMu pula kami minta pertolongan.
Kemudian
diteruskan dengan menyebut ayat suci Al-Quran:
Dan orang-orang
yang menafkahkan hartanya dalam keadaan
lapang dan kesempitan, dan mereka yang menahan marahnya serta memaafkan orang
lain. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang melakukan bajikan (Q.S
3:134).
Dari kisah
tersebut, dapat kita pahami bahwa sikap egois sang anak telah membuatnya bersikap
kasar dan tidak hormat kepada ayah
kandungnya hanya karena pertanyaan yang sepele.
Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita saksikan, karena asyik dengan
Black Berry Messanger-nya, seorang anak lupa berkomunikasi dengan orang di
sekitarnya. Ibarat anak autis, asyik main sendiri, tapi tidak peduli dengan
orang di sekitarnya. Atau karena asyik bermain games dengan komputer tabletnya,
ada orang yang lupa untuk menjawab salam atau menyapa orang yang lewat di
depannya. Semoga Anda tidak bersikap
demikian?
Pelajaran penting
lainnya adalah bahwa sikap marah sebaliknya ditanggapi dengan sikap dingin dan
tenang. Jika marah itu ibarat api, maka sikap dingin itu ibarat air. Dengan
demikian, suasana tidak menjadi lebih
keruh. Seandainya kemarahan anak tersebut ditanggapi dengan kemarahan ayahnya,
bisa Anda bayangkan apa yang terjadi. Nah disinilah kematangan emosi seseorang
itu diperlukan. Biasanya anak muda, masing kurang mampu mengendalikan emosinya
dengan baik. Karena itu hendaknya yang
muda mengormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda.
Ciputat, 4 Maret 2012
No comments:
Post a Comment